TheProperty-Developer

the property developer,ebook property, buku properti,property,property estate,real estate property,management property,commercial

Rabu, 16 Februari 2011

Bea Keluar CPO Tak Produktif


JAKARTA(SINDO) – Komisi VI DPR menilai,penerapan bea keluar atau pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang progresif berdampak negatif bagi pengembangan industri hilir CPO di dalam negeri.

Kebijakan BK CPO dinilai tidak sejalan terhadap penciptaan iklim investasi dan bisnis yang baik di industri hilir kelapa sawit. “Dalam kondisi persaingan ekonomi global yang semakin ketat seharusnya pemerintah berupaya menciptakan iklim investasi dan bisnis dalam negeri yang lebih baik.Namun,kenyataannya justru ada kebijakan-kebijakan disinsentif seperti bea keluar CPO progresif yang lebih banyak negatifnya bagi investasi dan bisnis,”tutur anggota Komisi VI DPR Erick Satya Wardhana seusai rapat dengar pendapat dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo) di Jakarta belum lama ini.


Karena itu, sudah saatnya pemerintah meninjau ulang kebijakan bea keluar CPO progresif agar perkembangan industri hilir CPO di dalam negeri dapat berlangsung lebih alami.Pemerintah juga dinilai perlu merestrukturisasi bea keluar CPO menjadi lebih moderat agar Indonesia tidak kehilangan peluang ekspor di pasar global.


Sementara itu, anggota Komisi VI DPR Emil Abeng menilai kebijakan bea keluar CPO progresif merupakan bentuk proteksi terselubung bagi industri dalam negeri yang tidak mendidik pelaku bisnis untuk mampu bersaing di pasar global secara alami.Sementara itu, Sekjen Apkasindo Asmar Arsyad dalam rapat itu mengatakan, bea keluar progresif merugikan petani karena akan memengaruhi harga tandan buah segar (TBS) sawit.


Para petani sawit tidak bisa mendapatkan harga penjualan TBS yang optimal sesuai kenaikan harga CPO di pasaran dunia,” tuturnya. Asmar menambahkan,bea keluar itu pun makin membebani produsen sawit yang dikenai banyak pungutan resmi maupun tidak resmi dalam proses produksinya. Senada dengannya, Direktur Eksekutif Gapki Fadhil Hasan mengatakan, kebijakan bea keluar CPO progresif itu sudah tidak tepat lagi karena melenceng dari tujuan awalnya untuk menstabilkan harga minyak goreng dalam negeri.


“Sementara itu,tidak ada bukti BK progresif telah berhasil mendorong pengembangan industri hilir di dalam negeri,”tuturnya. Sejauh ini, menurut Fadhil, Gapki sudah menyampaikan usulan ke pemerintah soal penerapan BK flat 3% ketika harga CPO di atas USD700/ton.Dia yakin pola ini bisa menstabilkan harga minyak goreng di dalam negeri dan mendorong hilirisasi industri kelapa sawit.


Sebelumnya, saat berkunjung ke SINDO, Sekretaris Jenderal Gapki Joko Supriyono mengatakan bahwa produsen berharap pemerintah lebih serius mendukung industri sawit nasional. Keberpihakan pemerintah dibutuhkan untuk membuat industri sawit di Tanah Air terus berkembangan, dan mengokohkan posisi Indonesia sebagai produsen terbesar minyak sawit mentah di dunia. Joko Supriyono mengungkapkan, selama ini sumbangan industri sawit bagi perekonomian nasional sangat besar.


“Tahun lalu saja ekspor CPO kita mencapai USD16 miliar atau 11-12% dari produk domestik bruto (PDB),”ujarnya. Selain itu, dengan hampir 7,9 hektare kebun kelapa sawit yang tersebar di seluruh Indonesia, industri ini menjadi tumpuan bagi hampir 3 juta tenaga kerja.Karena itu, sikap pemerintah yang terkesan tidak mendukung industri sawit nasional dalam menghadapi berbagai tantangan, baik dari dalam maupun luar negeri, patut disesalkan.


Di sisi lain,Wakil Ketua Dewan Minyak Sawit Indonesia (DMSI) Derom Bangun mengatakan,harga rata-rata ekspor CPO tahun ini diperkirakan lebih tinggi daripada 2010,yang mencapai USD900/metrik ton. Karena itu, pemerintah harus memangkas berbagai biaya yang menjadi beban produsen agar keinginan memproduksi produk jadi CPO semakin besar.



Oleh : Erick Satya Wardhana, Komisi VI DPR

Sumber : Seputar-indonesia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar